Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan perempuan 16 tahun saatnya
direvisi karena merugikan dan berdampak luas. Mahkamah Konstitusi mendorong
revisi dilakukan lewat DPR.
Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengungkapkan, Jumat (19/6), pihaknya
tidak bisa menetapkan batas usia kawin menjadi 18 tahun. Perubahan itu lebih
tepat dilakukan melalui legislative review atau merevisi UU No 1/1974
tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Seperti diwartakan,
Kamis, MK menolak permohonan yang diajukan Yayasan Pemantau Hak Anak, Koalisi
Perempuan Indonesia, dan sejumlah pribadi yang peduli pada hak perempuan.
Mereka meminta MK menguji Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan, khususnya terkait
batas usia perkawinan 16 tahun. MK diminta membatalkan batas usia itu dan
menetapkan batas baru menjadi 18 tahun.
Menurut
Arief, batas usia kawin untuk perempuan bukanlah permasalahan
konstitusionalitas. Penentuan angka 16 tahun ataupun 18 tahun sebenarnya
merupakan kebijakan hukum yang terbuka bagi pembentuk undang- undang.
Arief
berpandangan, permohonan itu lebih tepat diusulkan kepada presiden atau DPR
selaku pemegang kuasa pembentukan undang-undang. ”Misalnya, MK menentukan usia
kawin yang konstitusional 18 tahun, maka selamanya di Indonesia usia kawin 18
tahun. Tidak bisa diutak- atik lagi,” ujarnya.
Koalisi 18+
atau Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mengkritik sikap
delapan hakim konstitusi yang menolak permohonan uji materi atas UU Perkawinan
dengan alasan ketentuan itu merupakan open legal policy. Seperti
diketahui, putusan MK tidak bulat. Satu hakim konstitusi, Maria Farida Indrati,
mengajukan pendapat berbeda.
Supriyadi
Widodo Eddyono dari Koalisi 18+ mengatakan, putusan itu tidak konsisten dengan
putusan sebelumnya terkait pengujian UU Pengadilan Anak tahun 2010. Ketika itu,
MK dapat mengubah batas bawah usia anak bisa dikenai pidana dari 8 tahun
menjadi 12 tahun. Dalam putusan itu, MK menilai perlu penetapan batas umur guna
melindungi hak konstitusional anak.
Guru Besar
Hukum dan Masyarakat Universitas Diponegoro Suteki berpendapat, sudah waktunya
Pasal 7 UU Perkawinan direvisi. Pasal itu bertentangan, antara lain, dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta pasal-pasal
lain dalam UU Perkawinan yang menyatakan perkawinan harus dilakukan oleh
sepasang calon mempelai yang matang jiwa, raga, dan rohani.
Menurut dia,
ketika UU Perkawinan dibuat pada 1974, masyarakat Indonesia masih menargetkan
anak untuk bekerja. Anak sudah dianggap matang pada usia 16 tahun karena sudah
mengalami pubertas. Akan tetapi, zaman sekarang, standar usia itu tak relevan
karena terbukti secara psikologis remaja belum bisa berpikir jernih dan
mengambil keputusan bertanggung jawab.
”Sebuah
hukum yang baik harus bersifat progresif, yakni disesuaikan dengan perkembangan
zaman dan kebutuhan sosial masyarakat,” ujar Suteki.
Dampak luas
Upaya
menaikkan batas usia minimal perkawinan perempuan diharapkan melindungi anak
perempuan dari pernikahan dini. Pernikahan usia dini dapat ”mencerabut” hak
pendidikan dan hak kesehatan reproduksi perempuan. Pernikahan dini juga
berdampak buruk bagi pembangunan sumber daya manusia dan memunculkan masalah
kependudukan.
Berdasarkan
data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun
2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua teratas di
kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di
bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik
menjadi 3 juta orang pada 2030.
Komisioner
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Budi Wahyuni, menjabarkan,
dari kasus-kasus yang ia tangani, umumnya orangtua menganggap anak bisa
melanjutkan pendidikan setelah menikah dengan mengikuti Kejar Paket A, B, dan
C. ”Kenyataannya, anak yang menikah sudah terlalu lelah karena dipaksa mengurus
keluarga,” ujar Budi.
Direktur
Pendidikan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Subandi Sardjoko
mengatakan, menaikkan batas minimal usia perkawinan berarti turut membantu anak
mendapatkan pendidikan dan mengikuti wajib belajar. Perkawinan merupakan salah
satu faktor penyebab anak putus sekolah.
Ledakan
penduduk
Kepala Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Surya Chandra Surapaty menjelaskan
dari sisi kesehatan. Dia mengatakan, leher rahim remaja perempuan masih
sensitif sehingga jika dipaksakan hamil, berisiko menimbulkan kanker leher
rahim di kemudian hari. Risiko kematian saat melahirkan juga besar pada usia
muda. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 menunjukkan, 48 orang dari
1.000 remaja putri usia 15-19 tahun sudah melahirkan.
Mantan
Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Inang Winarso
menambahkan, perkawinan di usia anak memperpanjang usia reproduksi perempuan
dan meningkatkan peluang perempuan untuk lebih sering hamil. Jika tidak
dikendalikan, jumlah rata-rata anak per perempuan usia subur Indonesia yang
pada 2002-2012 stagnan di 2,6 anak sulit diturunkan. Tingginya jumlah kelahiran
mempersulit negara meningkatkan kualitas penduduk.
Kondisi itu
mengancam peluang Indonesia yang saat ini memasuki bonus demografi untuk
melompat menjadi negara maju. Syarat meraih bonus demografi itu antara lain
penduduk berkualitas dan masuknya perempuan dalam pasar kerja.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/06/20/Pernikahan-Dini-Memicu-Masalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar