Senin, 03 Desember 2012

  Hubungan Negara dan Warga Negara


A.    Peta Normatif Hubungan Negara dan Warga Negara
Tugas utama Pendidikan Kewarganegaraan adalah memberikan pencerahan informasi tentang hubungan antar warga negara dengannegara. Hal itu senada dengan konsepnya, yakni senantiasa komitmen dalam mengajarkan pengetahuan hubungan antara warganegara dengan negara yang menggunakan embrio materi tentang “hak dan kewajiban”.
Kendatipun demikian, konsep hubungan antara warga negara dengan negara masih sering menimbulkan persoalan yang bersifat dilematis. Hubungan antara warga negara dan negara, juga kerapkali dipersepsikan dalam bahasa yang “latah”. Apakah dalam proses hubungan itu negara harus berada di atas warga negara ataukah justru menempatkan keduanya dalam hubungan kesejajaran. Apakahnegara harus mencampuri urusan asasi warga negara ataukah sebuah perlakuan yang ‘ditabukan’.
Dalam wacana Pendidikan Kewarganegaraan, negara harus diposisikan sejajar dengan warga negaranya. Masyarakat (warganegara) tidak dilawankan dengan negara, akan tetapi justru dipersepsikan sebagai ‘mitra’ hubungan antara keduanya. Selamanegara masih berada diatas warga negara atau masyarakat, hubungan antara keduanya tidak akan bisa berlangsung secara harmonis. Padahal, keharmonisan ini menjadi kata kunci yang menentukan segala-galanya.
Dalam kaitan itu, Gouldner (1998) menegaskan bahwa hubungan antara masyarakat dan negara tidak selalu selamanya berkonotasi normatif, tetapi juga bersifat empirik. Secara normatif, hubungan hubungan negara dan warga negara harus selalu berpegang pada hak dan kewajiban yang melakat pada keduanya sehingga proses dialogisnya berlangsung secara demokratis, adil, dan harmonis dengan bersandar pada norma yang dipersyaratkan oleh konstitusi. Etika hubungan yang hendak dikembangkan dalam proses komunikasi antara negara dengan warga negara (masyarakat) harus berlangsung secara resiprosiret (timbal balik). Sebaliknya, secara empiric bisa bisa jadi hubungan antara negara dan warga negara justru melanggar norma bangsa dan negara yang telah disepakati bersama. Jika hal itu terjadi, pola hubungan negara dan warga negara harus dikembalikan pada hubungan yang bersifat konstitusional dan bukan inkonstitusional.
Ketika salah satu di antaranya mengingkari komitmen konstitusi sebagai dasar dan standar normative, hubungan inti mulai terkoyak dan biasanya warga negara (masyarakat) selalu berada pada posisi yang lemah (memang sengaja dilemahkan). Melalui instrumen kekuasaan, negara bisa melakukan cara-cara yang kasar (represif) atau bisa juga dengan cara yang paling ‘halus’ (hegemonik) untuk mengelabuhi warga negara atau masyarakat agar legitimasi masyarakat selalu masyarakat selalu mengalir kepada negara. Akibatnya keberadaan masyarakat (warga negara) menjadi ‘tak berimbang’ dengan negara.
Untuk membangun hubungan antara negara dengan warganegara secara adil dan berimbang, normatif, dan etik, dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut:
1.        Inventarisasi variabel yang melekat pada diri warga negara.
2.        Inventarisasi variabel yang melekat pada organisasi negara.
3.        Menghubungkan variabel yang melekat pada diri warga negara   dengan variabel yang melekat pada organisasi negara.
4.        Mempersepsikan hubungan kedua variabel (warga negara dannegara) identik dengan hubungan hak dan kewajiban antara keduanya.
5.        Mencari dasar norma sebagai ‘pembenar’ hubungan antara  warga negara dengan negara, yang bersumber dari jiwa dan nilai-nilai konstitusi.


Ø

Tidak ada komentar:

Posting Komentar